29 Mei 2009
Daya Serap Karbon Tiga kali Lipat
Meski sama-sama hutan, antara rimba yang masih perawan dengan hutan budi daya manusia ternyata memiliki “kekuatan” berbeda dalam menangkal efek global warming. Hutan perawan diyakini sebagai penangkal terbaik dampak pemanasan global. Sebab, temperatur alami yang masih terjaga di hutan yang belum terjamah tangan manusia itu memungkinkan tingginya kandungan karbondioksida hijau.
“Hutan perawan menyimpan karbondioksida hijau tiga kali lipat lebih banyak daripada yang dilaporkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC),” tulis Australian National University (ANU) dalam laporan riset mereka kemarin.
Perbedaan temuan tersebut berpangkal pada definisi hutan yang tidak sama. IPCC mendefinisikan hutan sebagai kumpulan pohon yang tingginya lebih dari 2 meter dengan luas lingkup kanopi minimal 10 persen. Tapi, di Australia, hutan didefinisikan sebagai kawasan hijau dengan tinggi pohon lebih dari 10 meter dan luas kanopi 30 persen. “Karena itu, hutan perawan di kawasan tenggara Australia berpotensi menyimpan 640 ton karbon hijau per hektare, bukan 217 ton per hektare seperti laporan IPCC,” lanjut ANU.
Kandungan karbon hijau hutan perawan juga sekitar 60 persen lebih banyak daripada simpanan karbondioksida hutan industri. Dengan demikian, potensi hutan perawan dalam menangkal dampak pemanasan global juga lebih tinggi daripada estimasi sebelumnya. “Artinya, kita harus lebih sungguh-sungguh menjaga kelestarian hutan perawan. Jangan sampai hutan-hutan tersebut menjadi rusak akibat jamahan tangan manusia,” papar Brendan Mackey, ketua tim riset ANU dari Canberra.
Dalam risetnya, Mackey menggunakan sampel pohon eucalyptus yang tumbuh di hutan seluas 14,5 juta hektare. Hasilnya, kandungan karbon hijau hutan perawan tersebut tiga kali lipat lebih banyak daripada temuan IPCC. Kandungan itu setara dengan simpanan 25 miliar ton karbondioksida. “Sayang, selama ini, baik di Australia maupun negara lain, potensi karbon hijau sering tidak dipedulikan. Akibatnya, kerap terjadi kesalahan estimasi nilai ekonomi dan pilihan kebijakan politik,” tambahnya.
Mackey menyatakan, temuan IPCC itu tidak sepenuhnya salah. “Mungkin karena sampel tidak sama dan pengertian yang berbeda, hasil temuan jadi tidak akurat. Asal tidak jadi kesimpulan atau patokan, saya rasa riset IPCC tetap bisa dipakai sebagai acuan,” ujar David Bowman, dosen ekologi kehutanan di University of Tasmania, Hobart. Selanjutnya, temuan IPCC tentang kandungan karbon hijau di sepanjang pantai Pasifik Amerika Serikat (AS) juga perlu ditinjau ulang.
Yang terpenting dalam temuan IPCC dan ANU adalah kesimpulan tentang perusakan hutan. Sekitar 17,5 persen dampak rumah kaca diyakini muncul akibat perusakan dan penggundulan hutan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Mas Suhut Yang Baik,
Saya masih sangat awam dengan karbon hijau, foot print, carbon accounting, dan perdagangan karbon. Bisakah Mas Suhut jelaskan kira-kira "peran" sosial kita dimana juga "peluang" ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat yang tinggal disekitar hutan.
Saya liah kawasan pulau jawa bagian selatan sebagian besar tandus (beran kidul = tanah bero di bagian selatan), padahal konon dulunya juga hutan perawan.
Bagimana kira-kira cara menghutankan kembali lahan gersang tersebut sehingga menjadi "gersang-seger dan merangsan"
"Indonesia, tanah jang mulja,
Tanah kita jang kaja;
Disanalah kita berada, Untuk selama-lamanja"......DBR
Posting Komentar